Sejarah Slot Di Indonesia

Sejarah Slot Di Indonesia

Loading to Sejarah Indonesia Perkembangan Manusia Purba Di Indonesia....

Pihak Baim Wong Sebut Saksi di Sidang Ungkap Kejadian Luar Biasa tentang Paula Verhoeven, Apa Itu?

Sejarah Judi Legal di Indonesia

Jumat, 23 April 2010 - 10:38 WIB

VIVAnews - Kebijakan pemerintah 'mengharamkan' judi mulai diutak-atik. Dikawal pengacara Farhat Abbas, seorang pedagang sayur, Suyud dan Liem Dat Kui, mengajukan judicial review untuk melegalkan judi.Suyud merupakan pedagang yang pernah ditangkap dalam kasus judi, dengan barang bukti Rp 58.000. Ia ditahan selama 4 bulan 1 minggu. Suyud terjerat pasal yang kini digugatnya.

Sedangkan Mr Liem Dat Kui warga Tionghoa yang terdaftar sebagai warga Negara Indonesia punya alasan lain. Liem Dat Kui menilai judi adalah bagian dari tradisi.Farhat, sang pengacara meminta MK mengabulkan permohonan kliennya (pemohon) dengan menguji pasal 303 ayat (1), (2), dan (3), pasal 303 ayat (1), (2) KUHP dan pasal 1, pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 5 UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yang dinilainya membatasi hak asasi manusia. Pengajuan judicial review dilakukan Rabu 21 April 2010 lalu ke Mahkamah Konstitusi.Sebetulnya, meski kontroversial dan memicu polemik, judi legal pernah diberlakukan di Indonesia. Pada zaman Propinsi Jakarta dipimpin Ali Sadikin, judi untuk menyokong pembangunan pernah dilegalkan. Ali Sadikin yang menjadi gubernur DKI Jakarta selama 11 tahun (1966-1977) saat itu menyadari uang panas judi bisa dihimpun untuk berbuat hal positif. Pria yang akrab disapa Bang Ali ini pun memutuskan melegalisasi perjudian. Maka diresmikankan sebuah kasino yang didanai pengusaha Apyang dan Yo Putshong.

Hasilnya tak sia-sia. Anggaran pembangunan DKI yang semula cuma Rp 66 juta melonjak tajam hingga lebih Rp 89 miliar dalam tempo sepuluh tahun. Artinya rata-rata per tahun sekitar Rp 890 juta, melonjak lebih dari 1000 persen. Bang Ali pun membangun sekolah, puskesmas, pasar. Jakarta juga dibenahi menjadi lebih kinclong.Penelusuran VIVAnews, tak hanya membangun kasino, zaman Bang Ali juga ada lotre yang diberi nama Toto dan Nalo (Nasional Lotre). Lotre terus berkembang hingga zaman Orde Baru. Misalnya, untuk menghimpun dana penyelenggaraan PON VII di Surabaya pada 1969, Pemda Surabaya menerbitkan Lotto alias Lotres Totalisator. Kemudian muncul juga Toto KONI yang dihapus tahun 1974. Namun upaya melegalkan judi terus dipikirkan. Tahun 1976 Depsos melakukan studi banding ke Inggris untuk menerbitkan forecast yang dinilai tidak menimbulkan ekses judi karena sifatnya hanya tebak-tebakan. Namun dengan memperhitungkan segala dampak, termasuk untung ruginya, forecast baru bisa dilaksanakan tujuh tahun kemudian.Pada Desember 1985,  Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola diresmikan, diedarkan, dan dijual. Waktu itu tujuan Porkas menghimpun dana masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Porkas lahir berdasarkan UU No 22 Tahun 1954 tentang Undian. Porkas beredar  sampai tingkat kabupaten dan anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang menjual, mengedarkan, serta membelinya. Akhir 1987, Porkas berubah nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan bersifat lebih realistis. Namun dengan alasan menimbulkan dampak negatif karena banyaknya dana masyarakat desa yang tersedot, maka tahun 1989 penjualan kupon ini dihentikan.Saat yang bersamaan muncullah permainan baru yang dinamakan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Namun tahun 1993, pemerintah mencabut izin penyelenggaraan SDSB. (hs)

Tanaman penghasil teh (Camellia sinensis) pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1684, berupa biji teh (diduga teh sinensis) dari Jepang yang dibawa oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Batavia. F. Valentijn, seorang rahib, juga melaporkan tahun 1694, bahwa ia melihat tanaman teh sinensis di halaman rumah gubernur jenderal VOC, Camphuys, di Batavia.

Pada abad ke-18 mulai berdiri pabrik-pabrik pengolahan (pengemasan) teh[1] dan didukung VOC.

Setelah berakhirnya pemerintahan Inggris di Nusantara, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kebun Raya Bogor sebagai kebun botani (1817). Pada tahun 1826 tanaman teh melengkapi koleksi Kebun Raya, diikuti pada tahun 1827 di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Dari sini dicoba penanaman teh dalam skala luas di Wanayasa (Purwakarta) dan lereng Gunung Raung (Banyuwangi).[2]

Karena percobaan ini dianggap berhasil, mulailah dibangun perkebunan skala besar yang dipelopori oleh Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh, pada tahun 1828 di Jawa. Ini terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van den Bosch. Teh pun menjadi salah satu tanaman yang terlibat dalam Cultuurstelsel.

Teh kering olahan dari Jawa tercatat pertama kali diterima di Amsterdam tahun 1835.[2] Setahun berikutnya, dilakukan swastanisasi perkebunan teh.

Teh jenis assamica mulai masuk ke Indonesia (Jawa) didatangkan dari Sri Lanka (Ceylon) pada tahun 1877, dan ditanam oleh R.E. Kerkhoven di kebun Gambung, Jawa Barat (sekarang menjadi lokasi Pusat Penelitian Teh dan Kina. Karena sangat cocok dan produksinya lebih tinggi, secara berangsur pertanaman teh sinensis diganti dengan teh assamica, dan sejak itu pula perkebunan teh di Indonesia berkembang semakin luas. Pada tahun 1910 mulai dibangun perkebunan teh pertama di luar Jawa, yaitu di daerah Simalungun, Sumatera Utara.[2]

Menjelang PD II - Perdagangan teh memberikan keuntungan besar bagi kas negeri pemerintah kolonial (berkantor di Amsterdam dan Roterdam).-Terdapat 324 perusahaan (259 perusahaan di Jawa Barat atau 78%)

Jual ikan koi Blitar –Meski ikan ini memiliki nama yang berasal dari Bahasa Jepang, tetapi sebenarnya ikan ini tidak benar-benar berasal dari negara Sakura tersebut. Faktanya ikan koi dengan nama Latin Cyprinus carpio ini berasal dari kawasan Persia yang kemudian dibawa ke Jepang melalui China dan Korea.

Ketika di Jepang itulah ikan koi mengalami berbagai perubahan yang sangat signifikan terutama warna tubuhnya. Selama ratusan tahun penduduk Jepang membudidayakan ikan koi serta menyilangkannya dengan jenis ikan lain. Kemudian hasilnya seperti saat ini, muncul berbagai jenis ikan koi dengan warna yang variatif.

Adapun jenis ikan koi yang pertama kali dihasilkan dari budidaya tersebut memang berwarna variatif, tetapi setiap warna hanya bisa terbentuk pada satu individu. Beberapa warna ikan koi pada masa itu antara lain ikan koi hitam, putih, putih keperakan, merah, kuning, dan juga keemasan.

Kemudian seiring berjalannya waktu, satu individu ikan koi akhirnya bisa mempunyai dua warna. Jenis warna yang pertama kali terbentuk adalah ikan koi merah putih dan ikan koi hitam putih. Perkembangan warna tubuh ikan hias ini tidak berhenti, sebab tidak lama kemudian dihasilkan varietas dengan tiga warna.

Meski begitu hanya ada satu jenis kombinasi warna, yaitu hitam, putih, dan merah pada satu individu ikan koi. Selanjutnya perkembangan warna baru kembali terjadi atau disebut sebagai multi warna. Ikan koi multi warna ini memiliki warna dasar biru dengan bercak putih, merah, hitam, dan biru gelap.

Setelah itu ikan koi kemudian mulai disilangkan dengan ikan karper yang berasal dari Jerman pada sekitar tahun 1904. Ikan karper Jerman tersebut lebih dikenal dengan sebutan ikan karper tanpa sisik. Hasilnya adalah tubuh beberapa jenis ikan koi tidak memliki sisik.

Sejarah dan sebaran ikan koi di Indonesia dimulai ketika Pangeran Akihito dan Putri Michoko mengadakan kunjungan ke Indonesia pada tahun 1962. Kunjungan tersebut kemudian berlanjut ke Bogor untuk melihat secara langsung ikan mas Indonesia yang termasuk dalam ras Kumpay.

Ikan mas tersebut ternyata mempunyai nama spesies yang sama dengan ikan karper Jepang. Akhirnya sang pangeran berinisiatif untuk mengawinkan kedua jenis ikan yang berasal dari varietas Flavipinnis tersebut. Lalu pada tahun 1980 Balai Penelitian Ikan Air Tawar Bogor mengirimkan 60 ekor ikan mas berusia enam bulan ke Jepang.

Sekitar sepuluh tahun melewati tahap penelitian, pada tahun 1991 pihak Jepang kemudian mengirim kembali lima jenis ikan koi berbeda warna ke Indonesia. Kelima varietas ikan koi ini mempunyai jumbai pada bagian ekor dan sirip perutnya berukuran panjang. Bentuk inilah yang membedakan ikan koi Indonesia dan ikan koi Jepang.

Nama kelima ikan koi tersebut adalah Strain Sanke yang mempunyai tiga macam warna, Asagi dengan punggung berwarna biru dan perut berwarna putih, Shusui yang sepintas mirip Asagi tetapi punggungnya memiliki sisik, Kohako yang mempunyai warna merah dan putih, serta Platinum.

Baca juga : IKAN KOI MENJADI SIMBOL SEBUAH CINTA DAN PERSAHABATAN

Ada beberapa jenis ikan koi yang sebaiknya kita ketahui, bahkan diantaranya adalah koi dengan corak dan warna langka. Selain itu, ada jenis koi dengan harga fantastis dan menjadi yang termahal di dunia.

Koi goromo adalah kohaku dengan tepi biru atau hitam dengan tambahan warna merah. Goromo dibagi menjad 3 sub jenis, yaitu budo goromo, ai goromo dan sumi goromo.

Ogon adalah jenis koi berwana kuning keemasan. Jenis ikan ini sangat populer dikalangan kolektor ikan koi. Koi ogon terlahir dari persilangan antara koi berpunggung kuning dan shiro fuji.

Ikan koi kinginrin memiliki tubuh seperti ikan emas bewarna kuning.

Doitsu hariwake adalah jenis koi mewah. Tubuhnya berwana putih keperakan seperti mutiara. Pada beberapa bagian terdapat corak kuning yang menyebar, sedangkan siripnya berwarna putih keperakan.

Koi jenis ini hampi serupa dengan jenis sanke dengan topi merah diatas warna dasar abu-abu, meski pun jenis sanke cenderung berwarna putih.

Silahkan klik disini untuk dapatkan Ikan Koi Blitar Murah dan Super.

1.      Sejarah Perkembangan Pragmatik Di Indonesia

Di Indonesia istilah pragmatik secara nyata baru disebut-sebut pada tahun 1984, yaitu pada saat diberlakukannya Kurikulum SMA Tahun 1984. Di dalam kurikulum itu pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi Bahasa Indonesia. Atas dasar tuntutan kurikulum itulah, istilah itu mulai dibicarakan dan dibahas.

Buku acuan yang merupakan perintis bidang pragmatik di Indonesia pada awalnya adalah karya Tarigan (1986) berjudul Pengajaran Pragmatik. Buku ini masih sangat umum, deskripsi tentang topik-topiknya sangat terbatas dan sekadar mengatasi kelangkaan bahan ajar bidang itu. Nababan (1987) mencoba pula menerbitkan buku Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), yang juga masih banyak mengandung kekurangan. Sementara itu, Tallei (1988) mencoba mendeskripsikannya agak mendalam. Topik-topik bahasannya antara lain tindak tutur (speech act), implikatur, dan praanggapan (presupposition). Sayang sekali karya Tallei ini tidak mencakup semua topik pragmatik dan bahasannya hanya merupakan bagian dari karya yang berjudul Analisis Wacana.

Tahun 1990, Purwo menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Buku ini merupakan gugatan atas perlakuan terhadap pragmatik di Indonesia dengan mencoba meluruskan pengertiannya. Baginya cabang linguistik ini dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, dan (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Buku Purwo ini hanya membahas empat hal saja, yaitu dieksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan. Keluasan cakupan bahasan inilah yang menjadi kelemahan buku tersebut.

Di tahun 1990 juga, Suyono menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik: Dasar-Dasar dan Pengajarannya. Sayangnya, buku ini tidak membahas secara mendalam seluruh topik yang disajikan. Bahasan Lubis (1993) dalam karyanya Analisis Wacana Pragmatik agak mendalam. Meski demikian, karya ini hanya membahas dari aspek analisis wacana. Aspek-aspek lain belum disentuhnya. Hal serupa juga terjadi dalam karya Ibrahim (1993) yang berjudul Kajian Tindak Tutur, yang hanya mengupas satu topik saja, yaitu tindak tutur.

Pada tahun 1996 terbit buku Dasar-Dasar Pragmatik karya Wijana. Buku ini sebenarnya menuju ke arah pragmatik yang sebenarnya. Topik-topik bahasannya cukup banyak, dari situasi tutur, tindak tutur, jenis tindak tutur, presupposisi, implikatur, emtailment, kalimat analitis -kontradiktif- sintetis, prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, sampai dengan parameter pragmatik. Hanya saja deskripsi di dalam karya ini masih sangat terbatas, berkecil-kecil, dan bersifat anomalitis.

Penelitian tentang pragmatik di dalam rangka disertasi telah dilakukan oleh Purwo (1984). Pokok persoalan penelitian itu adalah diesksis. Penelitian ini merupakan perintis penelitian tentang pragmatik di Universitas Indonesia. Rintisan penelitian bidang pragmatik dilakukan pula oleh Rofiudin (1994) dari IKIP Malang, dengan topik bahasan tentang sistem pertanyaan dalam bahasa Indonesia.

Penelitian lain yang berkaitan dengan pragmatik dilakukan oleh Gunarwan, peneliti Universitas Indonesia. Tahun 1992, ia meneliti persepsi kesantunan direktif di dalam bahasa Indonesia di antara beberapa kelompok etnik di Jakarta. Direktif dan sopan santun bahasa di dalam bahasa Indonesia merupakan topik penelitian pragmatik Gunarwan (1995) berikutnya. Temuannya ialah bahwa ada kesejajaran antara ketidaklangsungan tindak tutur direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja kesejajaran itu tidak selamanya berlaku.

Penelitian pragmatik dalam bahasa Indonesia dengan latar budaya Jawa telah dilakukan Gunarwan (1993 dan 1997). Penyelidikan Gunarwan (1993) berpokok bahasanan kesantunan negatif di kalangan dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta dengan menerapkan kajian sosiopragmatik. Pada tahun 1997 ia juga menghasilkan karya penelitian di bidang ini, berupa karya tentang tindak tutur melarang di dalam bahasa Indonesia di kalangan penutur jati bahasa Jawa. Makalahnya telah disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Surabaya tanggal 7-11 November 1997.

Dalam bahasa Jawa telah pula dilakukan penelitian tentang cabang linguistik ini, yaitu oleh Ngadiman (1994) dan Gunarwan (1996). Ngadiman (1994) meneliti implikatur percakapan di dalam bahasa Jawa di Yogyakarta. Penelitian ini memperoleh temuan bahwa bahasa Jawa kaya akan implikatur percakapan. Bentuk-bentuk figuratif di dalam bahasa Jawa seperti sanepa, wangsalan, dan bebasan merupakan realisasi implikatur percakapan bahasa Jawa di Yogyakarta.

Sementara itu, Gunarwan (1996) telah melakukan penyelidikan tentang tindak tutur mengkritik dengan parameter umur di kalangan [enutur jati bahasa Jawa dan implikasinya pada usaha pembinaan bahasa. Hasil penelitian ini disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa di Batu, Malang. Ia menarik simpulan bahwa bentuk kritik di kalangan orang Jawa sejalan dengan gradasi umur. Realisasi tindak tutur mengkritik di antara penutur bahasa Jawa tidak berbeda karena faktor jenis kelamin. Simpulan penting lainnya adalah bahwa orang muda Jawa lebih langsung dalam mengemukakan kritik daripada orang tua.

Berdasarkan deskripsi itu dapat dinyatakan bahwa kajian bidang pragmatik di Indonesia masih sangat terbatas. Implikatur percakapan sebagai fenomena terpenting di dalam bidang ini baru diteliti beberapa orang. Penelitian yang dilakukan itu pun belum memadai sebagai karya pragmatik yang mendalam. Karya Soedjatmiko (1992) tentang aspek linguistik dan sosiokultural di dalam humor dan Wijana (1996) tentang wacana kartun di dalam bahasa Indonesia bukanlah tentang implikatur percakapan.

2.      Sekilas Perbedaan Pragmatik, Sintaksis, Semantik, dan Sosiolinguistik

Perbedaan pragmatik, sintaksis, semantik, dan sosiolinguistik dapat dijelaskan secara ringkas seperti berikut.

Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.

BESARNYA minat masyarakat menggunakan kereta api untuk mudik ke kampung halaman atau melakukan perjalanan jarak jauh, tak hanya terjadi di masa kini. Sejak zaman kolonial Belanda, kereta telah menjadi moda transportasi andalan masyarakat.

Masyarakat sudah dapat memanfaatkan transportasi kereta dari Batavia ke Surabaya pada akhir abad ke-19. “Mereka tidak lagi menggunakan kapal dari Batavia ke Semarang atau Surabaya,” tulis Achmad Sunjayadi dalam Pariwisata di Hindia Belanda (1891–1942).

Saat itu kereta dari Batavia tidak langsung menuju Surabaya. Perjalanan berhenti di Maos, Cilacap, dan penumpang menginap semalam. Perjalanan dilanjutkan keesokan harinya. Hal ini karena kereta hanya beroperasi dari pagi hingga sore.

Belum tersedianya layanan kereta untuk perjalanan di malam hari menjadi sorotan penduduk dan pelancong. Salah satunya Eliza Scidmore, seorang jurnalis dan penulis catatan perjalanan asal Amerika Serikat, yang menilai perjalanan kereta di malam hari akan memberikan keuntungan besar bila dioperasikan di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa. Surat kabar De Locomotief, 19 Juni 1906, menyebut kereta malam merupakan simbol perkembangan ekonomi yang lebih cepat dan lebih modern di wilayah koloni.

Meski kerap menjadi pembahasan di surat kabar sejak awal abad ke-20, namun pengoperasian kereta malam masih dipertimbangkan. “Alasan ketidakpercayaan kepada masyarakat pribumi yang mengoperasikan kereta membuat kereta hanya berjalan sampai sore,” tulis Achmad.

Rencana pengoperasian kereta malam menunjukkan titik terang pada 1930-an. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 22 Oktober 1936, memberitakan kereta malam rute Batavia-Surabaya mulai diuji coba. Kereta tersebut berangkat dari Stasiun Weltevreden pada Jumat (23/10) sore pukul 18.00. Dalam uji coba itu, waktu tempuh kereta malam akan disesuaikan semaksimal mungkin dengan jadwal yang akan datang. Setibanya di Surabaya, kereta yang sama akan kembali ke Batavia pada Sabtu (24/10) sore pukul 18.00 dan diharapkan tiba di Stasiun Weltevreden pada Minggu pagi.

Surat kabar De Indische Courant, 24 Oktober 1936, melaporkan uji coba pertama kereta malam tersebut terbilang sukses. Koran ini juga mengulas fasilitas yang tersedia di dalam gerbong kereta. Disebutkan tempat duduk di dalam gerbong kereta dapat diubah menjadi tempat tidur sehingga penumpang dapat beristirahat dengan nyaman. Selain itu, kereta malam ini juga dilengkapi dengan gerbong salon untuk penumpang mengobrol dan bercengkerama.

Uji coba kereta malam rute Batavia-Surabaya menarik perhatian publik. Mereka ramai-ramai memesan tiket untuk menjadi yang pertama naik kereta malam dari Batavia menuju Surabaya maupun sebaliknya. Mengutip surat kabar De Locomotief, 02 November 1936, kereta malam pertama dengan layanan reguler antara Batavia-Surabaya dan Surabaya-Batavia diberangkatkan dari Batavia pada 1 November 1936. Dua gerbong tidur dimasukkan ke dalam formasi kereta tersebut.

Masyarakat antusias terhadap kereta malam. Mereka berbondong-bondong menyaksikan momen bersejarah Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda itu. “Tidak hanya di stasiun utama, tetapi juga di tempat-tempat kecil antara Koningsplein dan Manggarai banyak orang menyaksikan keberangkatan kereta malam pertama itu,” demikian laporan De Locomotief.

Terkait biaya naik kereta malam, surat kabar Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 29 September 1936, menyebut penumpang dibebankan biaya tambahan untuk akomodasi tidur dengan rincian sebagai berikut: penumpang kelas satu dibebankan biaya tambahan sebesar f.10 untuk mendapatkan kabin sendiri. Kabin ini disiapkan untuk malam hari atas permintaan penumpang kepada petugas gerbong tidur. Bila penumpang kelas satu hendak meminta tambahan gerbong tidur, maka ia akan dikenai biaya f.12.

Bagi penumpang kelas dua tidak diizinkan menempati kabin sendirian. Ia akan dialokasikan tempat tidur di kabin dengan biaya tambahan f.6 per tempat tidur. Kabin kelas dua tidak tersedia sebelum jam 8 malam. Sedangkan untuk penumpang kelas tiga, akomodasi tidur disediakan dengan menyediakan tempat duduk ganda yang dibebankan biaya tambahan f.1,5 di atas tarif normal. Selain itu, penumpang kelas tiga juga dapat memiliki tempat beristirahat bentuknya tempat tidur kemah yang ditempatkan membujur di atas tempat duduk dengan biaya f.3 di atas tarif normal.

Biaya-biaya tambahan itu dibebankan bagi penumpang dewasa. Sementara penumpang anak-anak tidak dibebankan biaya tambahan asal tidak menempati kursi tambahan. Selain itu, guna menunjang kenyamanan penumpang selama perjalanan, kereta malam juga dilengkapi gerbong makan yang beroperasi dari pukul 05.30 pagi hingga pukul 12 malam. Seperti kereta ekspres lainnya, gerbong makan ini hanya dapat diakses oleh penumpang kelas satu dan dua. Sementara penumpang kelas tiga dapat menikmati makanan dan minuman di area yang telah ditentukan di kelas tiga. Gerbong makan ini menyediakan sejumlah menu, di antaranya menu sarapan Belanda dengan harga 75 sen dan menu makan malam yang dibanderol 1,50 gulden.

Kehadiran kereta malam, yang disebut hotel bergerak, menambah pilihan bagi masyarakat yang hendak melakukan perjalanan jarak jauh. Peminatnya semakin bertambah di momen menjelang hari raya saat orang-orang pulang ke kampung halaman maupun pergi ke luar kota untuk berlibur dan beristirahat sejenak dari rutinitas harian. Tak hanya di hari-hari menjelang perayaan keagamaan, surat kabar De Indische Courant, 7 Desember 1938, memberitakan jumlah pengguna kereta malam melonjak di pengujung tahun sehingga manajemen perkeretaapian negara menyediakan kereta malam tambahan hingga awal tahun baru.*

Demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Berikut sejarah dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Berdasarkan KBBI, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. Kemudian, demokrasi juga diartikan KBBI sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli

Pengertian demokrasi menurut para ahli pun sangat beragam. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Abraham Lincoln mengartikan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Kemudian, Sidney Hook mengartikan demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintahan yang penting, baik secara langsung atau tidak langsung, didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

Joseph Schumpeter mengartikannya demokrasi adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya para individu-individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.

Pengertian demokrasi menurut C. F. Strong adalah suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.

Usai sidang, kuasa hukum Baim, Fahmi Bachmid mengungkap bahwa dua dari beberapa orang saksi itu mengetahui ada kejadian luar biasa yang diduga berkaitan dengan Paula